TARGET Yang Merusak Benih-benih Moral

Iring-iringan anak usia belasan tahun memenuhi jalanan. Dengan baju seragam penuh coretan warna warni spidol atau pilox berpesta pora menumpahkan kegembiraannya. Karena mereka berhasil lulus ujian.

Tidak seluruh pelajar sekolah menengah itu berwajah ceria. Sebagian kecil di antara mereka justru dilanda kesedihan. Mereka peserta ujian nasional yang gagal alais tidak lulus. Bukan hanya yang bersangkutan sajayang merasakan penderitaan karena kegagalanya. Juga keluarganya terutama orang tuanya..bahkan ada seorang kakek meninggal karena jantungnya berhenti berdetak setelah mendengar dua orang cucunya tidak lulus ujian.

Jerih payah mereka yang gagal akhirnya cukup dihargai dengan sertifikat Paket B atau Paket C, setelah mereka mengikuti ujian persamaan yang setara. Sepintas tampak tidak adil. Nasib mereka sekian tahun hanya ditentukan selama tiga hari. Ujian yang sebagian besar bahan tesnya berupa penilaian ranah kognitif.

Bagaimana dengan ranah belajar lainnya. Tidakkah masing-masing individu memiliki talenta dan kecerdasan yang berbeda. Mengetahui perbedaan individu berdasarkan bakat dan minat sangat penting. Tidak bisa semua siswa disama ratakan. Perbedaan individual harus diterima secara wajar. Bahkan harus dihargai. Howard Gardner mengemukakan teori Multiple Intilleligence, bahwa paling tidak terdpat tujuh macam kecerdasan yang membuat keragaman para siswa. Ditambah dua kecerdasan lagi yang belum diungkapkan, yaitu kecerdasan natural dan kecerdasan spiritual.

Dari sekian macam kecerdasan, hanya dua yaitu kecerdasan linguistik dan kecerdasan logis matematis saja yang tertampung dalam tes ujian selama ini. Padahal keberhasilan evaluasi belajar tersebut tidak selalu menjamin keberhasilan mereka dalam kehidupan yang sebenarnya nanti.

Tantangan di masa depan tidak cukup hanya diatasi dengan dua macam kecerdasan yang menjadi bahan utama dalam tes dan ujian saat ini. Bahkan kecerdasan ketahanan dan ketangguhan seseorang dalam memecahkan masalah yang dihadapi (Adversity Quotion) lebih menentukan kemerhasilan seseorang dari pada kecerdasan linguistik dan logis matematis.

Satu macam kecerdasan lagi yaitu Cretivity Quotion (CQ) kini menjadi pertimbangan untuk dikembangkan. Sebab kecerdasan ini dapat mendongkrak lebih dasyat bagi manusia dalam bersaing di kancah pergulatan hidup di masa yang akan datang. Suatu kehidupan post-modern di era cibernetics.

Kecerdasan kreatif ternyata dapat mengubah krisis menjadi peluang. Kesulitan, hambatan maupun ancaman yang dapat membuat seseorang frustasi, bagi seseorang yang memiliki CQ (kreatifitas) yang tinggi justru dapat menjadi daya pengungkit untuk bangkit. Contohnya Einstein. Semula ia bukanlah seorang yang pandai dalam mata oelajaran matematika. Tetapi kini siapapun mengakui bahwa ia adalah seorang yang genius. Kuncinya, karena ia dapat mengoptimalkan daya imajinasi dan kreativitasnya untuk memecahkan berbagai masalah.

Kerja fisik yang menjadi andalan dalam zaman agrikultur tidak berlaku di era industri yang menuntut standardisasi. Kini kita berada dalam tataran ini. Karenanya tuntutan peningkatan mutu disegala bidang dengan standar tertentu terus diupayakan. Standar kelulusan ditentukan secara nasional dan terus ditingkatkan agar setara dengan standar internasional. Standar pengajarnya disesuaikan melalui penyertaraan dan program sertifikasi guru.

Pada era industri ini kompetensi individual dan kualitas khusus masing-masing pribadi sering tertindas. Karena zaman ini lebih memperhatikan legalitas dan formalitas. Akibatnya bisa terjadi praktek-praktek produksi sertifikat yang tidak fair. Ini sangat membahayakan bila standarisasi tidak disertai dengan kontrol yang intensif.

Hal serupa bisa terjadi pada proses ujian nasional bila pangawasan tidak dilaksanakan secara ketat dan pelanggarnya tidak diberi sanksi yang berat.
Ada kecenderungan para penyelenggara pendidikan dan para pengajarnya berusaha keras agar seluluh muridnya dapat lulus semua walaupun dengan cara yang tidak benar. Menjaga agar kasus seperti ini tidak terjadi, mendorong pemerintah menyertakan pihak kepolisian dalam pelaksanaan ujian. Ini menunjukkan bahwa pihak-pihak penyelenggara pendidikan yang seharusnya dapat dipercaya dan dilepaskan secara mandiri belum dapat dilakukan.

Kejar target yang menghasilkan kelulusan yang
menghalalkan segala cara merusak benih-benih moral yang ditanam bertahun-tahun. Bagaimana kita dapat mengevaluasi secara benar dan objektif terhadap mutu siswa dan sekolah bila pelaksanaan di satu tempat atau daerah penyelenggara ujian demikian ketat pengawasannya, sedang di tempat atau daerah lain justru mereka yang seharusnya bertanggung jawab pelaaksanaan ujian bersama-sama melakukan kecurangan kolektif.

Kita khawatir bila generasi mendatang menjadi rusak terutama moralnya karena diceak melalui mesin-mesin kebohongan. Na’udzu billah min dzalik.

  
ARIGATA BLOGGER COMMUNITY
CONTACT CENTER BY SMS ONLY +6281335243051
BLOGGER SYSTEM 2012 ONLINE
The Republic of Indonesia Blogger

IDM 6.15 PORTABLE FULL